Rebut kembali Ruang Publik
Rebut kembali Ruang Publik
🆂🅴 Ruang publik tidak bisa dilihat hanya sebagai ruang dalam arti material yang mengacu pada tempat atau sarana fisik. Ruang publik adalah 'ajang' bagi setiap orang (publik) untuk mengemukakan pendapat dan gagasannya secara bebas. Pengertian ini merupakan salah satu gagasan besar Pak Habermars melawan proses alienasi manusia (baca kelas sosial). Beliau juga menyatakan bahwa pemerintahan yang sehat akan sangat ditentukan oleh ruang publik yang juga sehat, terhindar dari intervensi politik dan 'permintaan pasar'.Ruang publik seperti ini dimaksud sebagai mediasi antara masyarakat dan pemerintahan (yang memiliki tanggung jawab pada masyarakat melalui publisitas). Sesuatu yang mensyaratkan aksesibilitas terhadap informasi tentang fungsi pemerintahan. Artinya setiap aktifitas pemerintah akan selalu menjadi subjek kritisi untuk mendorong opini publik.
Dalam konteks inilah ruang publik didesain sebagai interaksi diskursif yang spesifik. Ajang mendiskusikan segala hal yang hasilnya akan didorong sebagai konsensus tentang kebaikan bersama. Singkatnya ruang publik menjadi mediasi antara pemerintah dan masyarakat sebagai pemilik opini publik.
Hal ini berbeda dengan ruang publik borjuis yang menolak prinsip diskusi publik terbuka terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan kepentingan publik. Pemerintah, dalam hal ini, menggunakan 'kuasanya' untuk melakukan klaim dan penguasaan terhadap seluruh elemen dalam masyarakat. Perbedaannya dengan ruang publik di wilayah demokratis terletak pada kebebasannya untuk berebut dominasi guna memenangkan opini publik.
Selanjutnya ruang publik sebagai ajang bisa ditemui dalam berbagai bentuk, salah satunya media (termasuk internet). Saat ini sulit dinafikan media (sebagai pembentuk opini) tidak beraroma kepentingan elite politik dan ekonomi media. Sialnya, selain media konvensional mereka juga bermain di media online.
Masyarakat perlu mengambil prakarsa mandiri untuk berpartisipasi dalam isu-isu publik. Tanpanya, media hanya akan mendominasi isu publik sekaligus melemahkan kemungkinan masyarakat untuk terlibat dalam keputusan-keputusan publik.
Dibutuhkan sarana yang bisa mendorong keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan terkait kebijakan-kebijakan publik. Meski kenyataannya masyarakat tidak memiliki akses memadai untuk memengaruhi keputusan-keputusan politik dari eksekutif atau legislatif yang cenderung mengusung kepentingan partai dan para 'elitenya'.
Masyarakat membutuhkan 'situs' yang mampu menjangkau kinerja para wakil rakyat tsb. Apakah mereka bekerja melayani masyarakat atau kepentingan partainya.
Rebut kembali potensi internet (medsos, web, blog, e-forum, dst) untuk dijadikan ajang guna membangun komunikasi antara masyarakat dengan anggota parlemen, sampai saat inipun masih belum tergarap dengan baik. Juga dengan pemerintahan yang praktik e-government-nya pun masih kejauhan naroh panggangannya dari api. Kapan matengnya? Hihihi…
Para aktivis sosial yang belum terkontaminasi kepentingan politik dan candu kekuasaan mesti diberi keleluasaan berinisiatif dan didorong untuk memelihara keberlanjutan pemanfaatan internet sebagai ruang publik yang menyuarakan kepentingan publik. Mengedukasi masyarakat agar terbiasa menggunakan forum-forum di internet untuk menyampaikan pendapat dan melakukan aksi sosial, misalnya merebut kembali ruang-ruang bermain dan interaksi keluarga, stop betonisasi, wakaf RTH, dsb.
Upaya kreatif dan berbagai prakarsa untuk menghidup-aktifkan internet -sebagai ruang publik- mesti terus diupayakan agar ruang-ruang ini tidak dihegemoni oleh elite politik, bisnis dan kroninya.
Sebuah 'ruang' yang sangat layak diperjuangkan sebagai 'ruang alternatif publik' guna mengimbangi ruang-ruang rapat formal dan informal yang dihegemoni para elit. Dan dari ruang-ruang hegemoni itu disiarkan drama yang menduduk-maniskan masyarakat hanya sebagai penonton. Tambah sedikit iklan sebagai pemanjang angan-angan.Itu saja yang bisa mereka sajikan, tidak lebih.
Dan itu bukan pendidikan yang diharapkan menjadi role model generasi penerus bangsa ini.
sbach
depok, 23 agustus 2019
Pernah dibagikan di WA Grup Depok SmartCity
Komentar
Posting Komentar