Lakara


Lakara*

🆂🅴 Kampungku tidak memiliki warisan budaya religius. Tidak ada tabliq akbar atau majelis taklim saat itu. Meski ada mushola, namun selalu sepi. Tidak ada pengajian anak-anak, ibu-ibu atau bapak-bapak. Hanya beberapa gelintir orang sholat setiap kalinya dan jumlahnya agak banyak ketika hari Jumat tiba.

Kampung kami multi agama. Ada gereja di kecamatan. Kuil pemujaan di dekat kali. Juga sesajen di lumpang batu, pohon beringin, depan regol, gerbang kuburan, perempatan, depan rumah sampai pinggir kali.

Ada pagar semen di pinggir kali kecil di luar desa. Pagar pendek itu dinamai “buk”. Entah dari mana asal sebutannya. Setiap sore 'buk’ menjadi tempat bertemu, mengobrol atau sekedar menghabiskan sore.

"Tadi ada orang meninggal tertabrak truk di Malvinas. Sedang apa di sana, ‘berenang’?" tetanggaku pak Tua memulai. Kata 'Malvinas' memiliki hubungan hitam dengan intonasi yang diletakkan pada kata 'berenang'. Ada apa?  

Aku baru kelas 4 SD. Kata 'berenang' di Malvinas agak aneh. Hanya ada kali besar di sana. Sangat besar jadi tidak ada yang berani berenang. 

“Mengapa tidak berlakara?”

Pak Tua memandangku.Tatapannya seolah menghina kebodohanku atau perasaan seorang senior terhadap kanak-kanak yang terlibat obrolan orang dewasa. Tetapi ini 'buk'. Ruang publik masyarakat desa. Ketika semua interkoneksi dan komunikasi terjadi tanpa intervensi.  

“Apa yang kamu tahu!” semprotnya. 

Ada penghinaan lain di nada bicaranya. Kali ini tentang orang yang mati. Orang yang kami kenal baik sebagai tetangga. 

"Apakah praktik ibadah hanya kebiasaan untuk menyenangkan mata?" tandasnya.

Pemaknaanku belum terbuka, tetapi naluriku membisikkan ada yang berbeda. Istilah 'berenang' yang dipakai tidak sama dengan 'berenang' yang kami lakukan di Umbul Sewu setiap minggu pagi. 

Ada penghinaan muncul dari setumpuk makna atas pelanggaran moral. Orang yang selama ini melakukan kegiatan yang dianggap 'baik' ternyata berkeliaran di lokalisasi. Seperangkat nilai tentang moral yang berbanding lurus dengan ibadah menjadi kacau.

"Jangan menyalahkan praktik ibadah apalagi ajarannya. Tidak setiap kain yang dicelup pewarna akan menjadi kain berharga. Begitu juga ajaran agama," potong mang Dayat sambil menghisap kreteknya dalam-dalam. 

Setelah bertahun-tahun kemudian, aku setuju bahwa perbuatan itu adalah perbuatan segelintir orang. Tetapi aku juga menyadari bahwa batasan nilai moral di masyarakat setipis ari. Perbuatan baik atau tidak akan kehilangan makna ketika tidak melibatkan kehilangan materi dari orang lain. Tidak ada penghalang 'moral' dari masyarakat untuk pergi ke tempat pelacuran karena tidak merugikan orang lain. Hanya omongan nyinyir sementara. 

Tetapi untuk apa peduli? Toh kita hidup di alam tepo seliro - tepo tepak seliraning awak yang akan melupakan segalanya ketika kita bertemu kemudian ngobrol dan udud bareng.  Semua sudah dilupakan. Piye kabare cuk? Suwi ra dolan kene? 

Uripo sak karepmu...[seBa]

* Perahu

Foto: Malta photo created by wirestock - www.freepik.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dosen vs Mahasiswa

Menggagas Teori Orbital untuk Percepatan Pembangunan