Dosen vs Mahasiswa

Ada banyak keluhan dosen ketika mengajar gen Z. Misalnya tidak sopan, terlalu pede tapi ga ada isi, terlalu berani, tidak kritis, susah diajak mikir, kuliah asal²-an, dan seabrek keluhan lain. Dalam beberapa kasus dosen sangat marah karena siswanya dinilai sangat sombong, susah diatur, sementara nalar kritisnya memprihatinkan.

Sudut pandang dosen tentu ada latarnya. Salah satunya mereka memiliki standar pengetahuan yang tinggi dan itu didapat melalui keringat dan pengorbanan yang besar. Mereka susah payah sekolah tinggi-tinggi, sampai esdua/estiga.

Sebaliknya siswa menilai banyak dosen sangat merepotkan. Apakah sekedar untuk menginput nilai, tidak tahu cara berkomunikasi, minim sopan santun, susah ketemu untuk bimbingan, dst. Alasannya sibuk keluar kota, lagi di luar negeri, banyak kerjaan, atau tidak suka melihat tampang pelajar, dst.

Dosen menilai siswa berdasarkan ide dan pengetahuan yang mereka dapatkan setelah sekolah tinggi-tinggi. Dicampur dengan pengalaman yang didapat melalui pembiasaan (umur..😅).

Tanpa disadari para dosen telah membentuk paradigma penilaian yang cenderung kaku. Berfikir, bersantai, bertutur, tidur yg sesuai dosen, dst. Mahasiswa seharusnya begini... seharusnya begitu. Apakah pola pengajaran yang ada masih relevan dengan kebutuhan zaman sekarang?

Mahasiswa sekarang adalah gen Z. Dosen sebagian besarnya baby boomer. 

"Saya dulu sangat patuh kepada guru/dosen. Sesuatu yang tidak akan didapat dari mahasiswa jaman sekarang," cetus satu dosen senior. 

Kalau memang tidak bisa ditemukan, bukankah sebaiknya mulai mencari?

Mengapa muncul labirin tipis yang membedakan kedua gen. Kalau para dosen tidak mau mencari, dan tetap melakukan pendekatan penilaian berdasarkan paradigma yang sudah terbentuk, tanpa disadari proses fabrikasi mahasiswa telah terjadi. 

“Tetapi itukan standar kampus yang baik untuk melatih mahasiswa mencapai kekritisan dan tentunya kualitas,” bela seorang dosen. 

Tanpa mengenal karakter gen Z bagaimana komunikasi yang hangat bisa tercipta. Tanpa komunikasi yg baik, pengajaran akan selalu menjadi bayangan kekuasaan, pameran otoritas. Mahasiswa tidak nurut kasih C, bahkan tidak diuluskan. Kapan standar pengajaran di kampus maju? 

Saya curiga akan stagnan. Bagaimana sebuah kualitas bisa dilahirkan ketika pola pengajarannya tetep kekeuh? Lagi pula perlu dipertanyakan apakah pola pengajaran masih relevan dengan kebutuhan zaman sekarang?

Diperlukan upaya keras untuk mencegah kemandegan sekaligus meningkatkan kualitas pengajaran. Dosen perlu memahami bagaimana membangun jembatan yg menghubungkan komunikasi yg rumit antara dua generasi. Sukur² setiap kampus mau memfasilitasi semacam workshop pembekalan dosen untuk mengenal lebih jauh tentang gen Z beserta atribut mereka. 

Sebelum ngampus, ragam gen Z sangat berwarna seperti aransemen Pink Floyd. Sesudah ngampus diseragamkan. Diproduksi sesuai cetakan birokrat tanpa nalar kritis, kecuali pembebekan. Nggih pak, siap bu, sendiko, dalem.... 

Untungnya gen Z cukup pemberontak. Mereka cukup percaya diri. Kepercayaan diri yang seringkali dianggap sebagai sikap yang kurang terbuka, tidak sopan.

Sementara di sudut-sudut kosan mahasiswa, warkop, kafe, taman bahkan tempat karaoke, esudah seharian diam (saya baru menyadari, diam dipersepsi mahasiswa sebagai bentuk kesopanan) di depan dosen, Di belakang mereka bergibah-ria. Temanya dosen tercinta. 

Kesantunan menjadi alat untuk segera lulus.  Nggih pak, siap bu, sendiko, dalem..... .


sebach

Depok, 16082024

21.56

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menggagas Teori Orbital untuk Percepatan Pembangunan

Lakara