Galasin dan Ruang Tumbuh Kembang

Galasin dan Ruang Tumbuh Kembang

🆂🅴 Pelataran rumah Mpok Minah memang ideal untuk bermain Galasin. Tanahnya luas, padat dan tidak bergelombang. Setiap sore puluhan anak berkumpul di tanah seluas lapangan bola itu. Mereka lalu menggambar kotak persegi yang dibagi menjadi enam atau delapan ruang berbatas garis vertikal dan horisontal. Kadang karena jumlah anaknya banyak, ada beberapa kotak galasin dibuat dan dimainkan bersamaan. 

Dalam proses permainannya, kami membagi diri menjadi dua kelompok. Semua anak terbagi rata melalui gambreng, tidak ada kepentingan dalam pemilihan. Sesudahnya kami beradu kegesitan, kecepatan lari, adu kecerdikan, taktik sampai ceng-cengan canda tanpa henti. Seringkali muncul teriakan tidak puas atau tuduhan kecurangan. Terkadang juga dilanjutkan dengan adu urat bahkan pernah ada yang berkelahi karenanya.

Namun semua berhenti ketika Bang Omad, suami Mpok Minah mengguyur pelataran dengan seember air. “Bubar-bubar. Pulang sana. Mandi pada ngaji!” usirnya. 

Matahari memang sudah mulai condong ke Barat. Hari menjelang Maghrib. Kamipun bubar sambil berjanji esok sore berkumpul dan bermain lagi di tempat yang sama, tentunya dengan membawa semangat dan kebersamaan baru. Apa yang terjadi kemarin sudah dilupakan. Seolah ada peraturan tak tertulis bahwa ini sebuah permainan bukan ajang permusuhan. Semua patuh, karena konsekuensi sosialnya jika tidak diikuti, akan ditinggalkan sendirian.

Semua senang. Saya juga, meski jarang diperbolehkan ikut bermain karena dianggap anak bawang. Tetapi saya tetap senang. Seperti kesenangan saat bermain Pletokan, Bola Gebok, Petak Umpet, Dampu, Takadal, Benteng, mandi hujan sambil rebutan mangga di kebun tetangga dan banyak permainan lainnya.

Sebuah Nilai 

Permainan Galasin selain sangat menarik juga mengajarkan banyak hal. Selain kesenangan, ada pelajaran kerjasama untuk menjaga wilayah agar tidak diterobos lawan. Sebuah tanggung jawab yang menyenangkan sekaligus menarik karena setiap anak dituntut untuk selalu waspada. Untuk memenangkan permainan, setiap anak dituntut berlari sekencangnya sambil berkelok selincah kijang. 

Ada peneliti yang mengaitkan garis-garis di permainan Galasin sebagai pintu. Sebuah simbolisasi dari kesempatan, yang akan terbuka atau tertutup, tergantung dari usaha dan kerja keras. Atau sebagai simbol peluang yang terbuka lebar untuk mereka yang bekerja keras dalam sebuah teamwork.  

Namun pelajaran mendalam dan seringnya terlupakan dari permainan Galasin atau juga permainan anak-anak lainnya adalah adanya interaksi antar manusia di ruang terbuka. Interaksi yang melahirkan ruang-ruang dinamis sebagai ajang untuk mengartikulasikan emosi, simpati, kasih sayang, sampai unjuk semua warna rasa. 

Ruang-ruang itu mewadahi seluruh proses kreatifitas, imaginasi dan keberagaman yang sangat mungkin dimaknai secara transeden. Ruang-ruang yang menjadi ajang untuk menguji masing-masing tafsir terhadap seperangkat nilai kebaikan, keberagaman, perbedaan dan kemanusiaan, sekaligus menjadi ajang sesungguhnya dari pelaksanaan nilai-nilai tersebut. 

Sangat lumrah jika di dalam permainan itu anak-anak bersendau-gurau, saling ledek, beradu urat, cekcok bahkan berkelahi. Tetapi mereka akan kembali bermain. Perbedaan menjadi relatif ketika secara hakikat mereka menyadari bahwa dengan bermain bersama mereka jauh lebih bahagia. 

Mereka diajarkan budaya sejak dini. Budaya yang berpijak pada penghargaan terhadap interkonektifitas dalam ruang guyub. Penghargaan yang kemudian melahirkan budaya adiluhung seperti toleransi, gotong royong, pemaaf, ramah tamah, sampai terjaganya lingkungan dan tentunya masyarakat yang memiliki kebersandaran pada Tuhan.

Namun salah dua dari banyak permasalahan kota besar adalah laju urbanisasi dan ketidakmatangan perencanaan pengembangan tata ruang sehingga membawa ikutan berupa permukiman kumuh. Hampir sepertiga penghuni slum area tersebut adalah anak-anak. Ketiadaan tempat dan fasilitas bermain memaksa anak-anak memanfaatkan jalanan sebagai ruang-ruang binteraksi. Jalanan yang minim edukasi namun sarat dengan nilai kekerasan. Itulah yang menjadi ruang-ruang bagi tumbuh kembangnya anak-anak kita. Generasi bangsa di masa depan.

Dalam konteks ini, kita melihat pemutilasian ruang-ruang publik atau perampasan kedaulatan ruang. Negara seolah tidak hadir. Negara seolah tidak mampu menghadirkan ruang untuk tumbuh kembang generasi mudanya.  Negara abai terhadap nilai-nilai luhur nusantara yang menjadikan kedaulatan ruang dan manusia sebagai aset utama Negara kesatuan Republik Indonesia. Bukankah dahulu, para pejuang rela mengorbankan jiwa dan raga mereka untuk merebut kedaulatan ruang dan kemerdekaan setiap insan?

Negara semestinya hadir untuk menjaga dan menyediakan ruang tumbuh kembang bagi generasi cikal bangsa. Hadir untuk memuliaan ruang dan manusia sebagai modal utama kedaulatan. Hadir dalam pembangunan ruang publik pada level fisik, imaginasi dan diskursifnya sekaligus. Tidak berhenti pada pembangunan infrastrukturnya saja, namun juga kesadaran tentang ruang sebagai ruang bermain, ruang tatap, ruang guyub sekaligus ruang hijau.

Sore beberapa waktu lalu, anak-anakku bermain hujan setelah sekian lama harus berkegiatan dari rumah. Hujan juga sudah lama tidak turun. Mereka tertawa dan tentu bahagia. Perasaan yang aku yakini sama persis dengan apa yang bertahun-tahun lampau pernah kurasakan. Rasa senang, gembira, bahagia yang meledak dari dalam hati secara otomatis. Tidak membutuhkan syarat harus kaya berharta, memiliki barang mewah, menjadi terkenal, pejabat atau apalah. Cukup keberadaan ruang untuk mengekspresikan seluruh potensi kreatifitas dan imaginasi mereka.

Ruang yang dahulu diperebutkan para pejuang dengan darah dan air mata.

Selamat Hari Pahlawan! 


Depok, 5/11/2020
sbachrun@gmail.com
Ditulis untuk portal senibudayabetawi.com
Foto: Okezone

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dosen vs Mahasiswa

Lakara

Akhir Momentum