Menggagas Teori Orbital untuk Percepatan Pembangunan
Partisipasi Masyarakat
Komposisi masyarakat yang sangat beragam baik dari profesi, latar budaya, sosial, ekonomi, dan agama akan membuat upaya pelibatan masyarakat dalam proses pembangunan menjadi sebuah pilihan strategi yang rumit sekaligus menantang. Kunci mengurai kerumitan adalah komunikasi intensif sekaligus optimasi peran lembaga untuk menjaga irama pergerakan yang dibutuhkan dalam proses pelibatan masyarakat.
Balai Besar Wilayah Sungai Cimanuk-Cisanggarung (BBWS-CC) memosisikan diri sebagai lembaga itu. Penggerak masyarakat sekaligus penjaga agar gerakan yang melibatkan masyarakat terus berjalan, bersinergi, dan beregenerasi.
Seperti sebuah orbit yang menjadi poros akselerasi gerakan masyarakat dan komunitas. Pusat upaya membangkitkan kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi dalam diskursus publik tentang arah pembangunan.
Sebuah ruang yang membuka penawaran kepada setiap masyarakat untuk memberi penalaran publik terhadap pembangunan kebahagiaan bagi diri dan lingkungannya. Memberi kesempatan masyarakat untuk membicarakan apa yang dianggap penting bagi perubahan yang dibutuhkan.
Kesempatan ini tidak bisa dipandang sebagai kegiatan yang hanya bersifat rasional intruksional saja, cukup dengan menawarkan program-program tertentu untuk dijalankan. Sudah terbukti di masa lalu, pendekatan vertikal dari atas ke bawah (top-down) memiliki resiko kegagalan tinggi. Sisa-sisa kegagalan masa lalu itu bisa dilihat dari minimnya kreatifitas dan tingginya ketergantungan masyarakat terhadap pemerintah.
Kesempatan seperti ini harus dibaca sebagai upaya yang akan melibatkan penilaian-penilaian subjektif para aktor dalam kapasitas mereka sebagai penggerak komunitas atau jaringan dalam masyarakat. Gerak bersama masyarakat bukan hanya melakukan integrasi suara (persetujuan) semata. Di dalamnya juga akan muncul negosiasi, interaksi dan kerjasama antar aktor penggerak (lihat tulisan tentang Suranenggala).
Seperti sebuah sistem, keutuhan cara pandang aksi yang dilahirkan dalam ruang partisipasi ini merupakan hasil dari interaksi dan interkoneksi antar komponen yang berlangsung terus menerus (rekursif).
Aksi yang muncul kemudian merupakan perwujudan dari emergent properties kebersamaan. Peran lembaga pemerintah dalam hal ini memosisikan dirinya sebagai pemberi respon hasil dari bottom up yang ada untuk disinergiskan menjadi tujuan bersama yang berkelanjutan.
Pembangunan ruang kebersamaan ini diwujudkan BBWS-CC dalam bentuk sarasehan sebagai langkah awal. Kegiatan yang mengundang 49 komunitas penggiat lingkungan, lsm, organisasi kepemudaan, juga tokoh masyarakat, pemerintah daerah, dan lain-lain.
Sebuah upaya melibatkan kearifan lokal yang menjadi filosofi hidup masyarakat dalam proses pembangunan.
Sarasehen memungkinkan terjadinya komunikasi intensif untuk mencapai kesepahaman dan kepedulian dari masyarakat.
Hal pertama yang perlu dijembatani terutama menyangkut keterbatasan pemerintah melaksanakan pembangunan. Mustahil mengharapkan kehadiran pemerintah di setiap permasalahan pembangunan yang ada tanpa keterlibatan masyarakat. Informasi ini menjadi penting sebab banyak asumsi, ‘karena pembangunan menjadi tanggung jawab pemerintah, maka setiap perlambatan pembangunan menjadi tanggung jawab pemerintah juga’.
Kesepahaman berlanjut sampai pada kesadaran untuk melakukan peningkatan kualitas diri, masyarakat dan lingkungan. Sebuah tafsir bersama terhadap pembangunan bahwa proyek terbesar manusia bukanlah mencari planet baru untuk ditempati, tetapi membangun dan menjaga kelestarian di bumi.Kondisi ini akan tercapai dengan kecepatan optimal jika masyarakat turut terlibat dalam setiap gerak pembangunan.
Sarasehan berhasil membangun kesepahaman keterlibatan masyarakat dalam restorasi sungai demi generasi masa depan.
Keberhasilan membangun kesepahaman ini menjadi modal utama sebelum melakukan aktivasi peran masyarakat. Kesadaran terhadap peran ini akan menjadi landasan yang memadai ketika dilakukan pembagian ruang-ruang partisipasi pubiknya.
Landasan yang akan menghindarkan kesalahan penafsiran sekaligus menutup anggapan bahwa mereka hanya dimanfaatkan.
Ruang partisipasi publik harus didorong sebagai ajang ekspresi, aktualisasi, dan pengukuhan eksistensi sekaligus. Memberikan panggung bagi setiap komunitas untuk mengekspresikan identitasnya. Menciptakan ruang-ruang ekspresi bagi setiap individu dan komunitas untuk terlibat. Membangun ‘sistem’ bukan ‘sinten’. Meningkatkan indeks kebahagiaan dan pengetahuan masyarakat bukan sekedar meningkatkan indeks ekonomi.
PERAN BBWS Cimanuk Cisanggarung
Modernisasi bisa dimaknai sebagai proses perubahan dari cara tradisional ke cara baru yang lebih maju untuk meningkatkan kualitas hidup. Namun bauran modernisasi, globalisasi, dan teknologi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perubahan cara pandang masyarakat terhadap diri, lingkungan dan masyarakatnya. Salah satunya adalah gotong royong.
Makna denotasi gotong royong diterjemahkan sebagai “bersama-sama mengerjakan sesuatu yang bermakna sosial”. Sementara dasar makna konotasinya, menurut Prof. Benny Hoed dalam Semiotik & Dinamika Sosial Budaya merupakan kewajiban yang sangat berterima di masyarakat komunal. Kalau di masyarakat perkotaan yang individualis, kewajiban yang ‘berterima secara sukarela’ akan segera menjadi ‘kewajiban yang memberatkan’.
Dekonstruksi makna inilah yang kemudian harus secara hati-hati diterjemahkan dalam pilihan tindakan praksis terutama ketika berbicara mengenai pelibatan masyarakat. Alih-alih identik dengan kebijakan dan kebajikan masa lalu, takutnya malah dikonotasikan sebagai kampungan. Alih-alih mengirim pesan kebersamaan, malah ditafsirkan sebagai murahan.
Selain itu tingkat keterlibatan masyarakat di setiap wilayah menjadi sangat berbeda karena faktor kemampuan anggaran yang berbeda jumlah dan sumbernya.
Menyadari rumitnya kondisi ini, BBWS-CC merancang sebuah sarasehan sebagai ajang membangun kesepahaman bersama para penggiat lingkungan, komunitas, pejabat daerah, dan tokoh masyarakat. Sarasehen dibuat dalam bentuk interaksi formal dan non-formal untuk memastikan proses kesepahaman dapat tercapai.
Komunikasi formal dilakukan untuk mempertegas tujuan kegiatan. Sedangkan komunikasi informal menghasilkan proses dialog yang lebih bebas, santai namun menghasilkan interaksi penuh keakraban dan intens.
Sarasehan membantu terjadinya dialog semua pemangku kepentingan yang membutuhkan berbagi pengetahuan sebagai bentuk terbaik dari pendidikan bersama.
Pada level inilah ruang partisipasi publik dibuka lebar dan didorong sebagai ajang ekspresi, aktualisasi, dan pengukuhan eksistensi sekaligus. Ruang untuk mengukuhkan keberagamaan dalam kebersamaan, saling berlomba dalam kebaikan, dan memberikan peran aktif kepada setiap kelompok untuk menunjukkan kebaikan.
Peran BBWS-CC sebagai lembaga pemerintah adalah mensinergikan aspirasi yang muncul secara bottom up dari setiap kelompok masyarakat untuk berperan sesuai tugasnya, kemudian merajutnya ke dalam sebuah sistem dengan target yang sama.
Singkatnya peranan yang dijalankan adalah sebuah optimasi strategi bottom up dan top down untuk mendapatkan kondisi win win solution dalam percepatan pembangunan sehingga meningkatkan akselerasi dan pergerakan orbital setiap kelompok masyarakat.
Hasil kesepakatan dari sarasehan dilaksanakan dalam aksi bersih bersih-bersih sungai di 14 wilayah, penanaman pohon di hulu sungai, dan gerakan serempak penanaman pohon mangrove yang diganjar penghargaan pemecahan rekor nasional dan dunia. Sebuah kolaborasi yang membanggakan.
Masalah yang akan muncul selanjutnya adalah bagaimana memelihara dan melakukan pewarisan nilai-nilai kebersamaan ini kepada generasi di masa hadapan? Setelah melalui perenungan, solusinya adalah sebuah intensitas kegiatan yang menerus, sekaligus mampu memberikan manfaat secara ekonomi, sosial, dan edukasi.
Ada beberapa hal yang kemudian digagas dan diluncurkan untuk melakukan kegiatan ini. Pertama adalah sekolah sungai sebagai sarana transformasi pengetahuan sekaligus kaderisasi berjenjang relawan. Kedua mensosialisasikan teknologi ecobrick yang memanfaatkan sampah-sampah sungai untuk diolah menjadi barang ekonomis.
Ketiga melibatkan masyarakat dalam antisipasi bencana dengan pemanfaatan teknologi bioengineering. Sebuah teknologi yang mampu menghadang laju pengikisan sekaligus penghijauan tepi sungai berbiaya rendah.
Keempat menggandeng DKM masjid, gereja, pura, dan vihara se-kabupaten kota untuk bersama-sama menjadikan kesadaran komunal dan lingkungan sebagai bahan ajaran (ceramah) berkala mereka [©]
*Ditulis untuk Majalah Diffusion BBWS Cimanuk Cisanggarung
Refererensi:
- Muadz, M. Husni. (2014), Anatomi Sistem Sosial, Jakarta: Institut Pembelajaran Gelar hidup (IPGH).
- Zubaidi, Dr. (2014), Pengembangan Masyarakat: Wacana dan Praktik, Jakarta: Kencana, Prenadamedia Group.
- Sztompka, Piötr (Terjemahan). (2014), Sosiologi Perubahan Sosial, Jakarta: Prenada, Prenadamedia Group.
Komentar
Posting Komentar