Someday


Someday

🆂🅴 Ikhlas tak bisa didirikan di atas landasan praktis, dia mesti dijalanin dari hakikat. Seperti Minggu pagi lalu. Aku sudah janjian dengan Quina ketemu di stasiun Bojonggede. Sebelum melangkah ke stasiun, Layla telepon minta ditemani. Sudah izin Quina, katanya. Dengan terpaksa, karena senang, aku membatalkan janji dan berlari menyongsongnya.

"Keren kan. Level keihlasan Quina sudah di maqom hakikat. Level dewa. Sementara apalah aku yang bahkan tidak bisa menyembunyikan keelokan hujan di bulan Oktober". Asli pujian untuk menjilat. Cukup untuk menghindari amuk Quina.😉

Sepekan sebelumnya kami, para mantan mahasiswa di program bahasa, memang berencana ke rumah teh Lia di Bojonggede. Sudah 15 tahun sejak kami memakai toga dan menerima ijazah sarjana. Lima tahun pertama kami masih sering bertemu. Sejak masing-masing berkeluarga, semakin sulit bagi kami bertemu. Lia dahulu paling rajin mengajak rendezvous. Dia juga paling dinantikan. Kalau dia tidak ada, kita yg ngumpul dijamin cuma makan kwaci dari Indomaret. Berbeda kalau teh Lia ikut. Apalagi tambah Jumi. Isi restoran bisa pindah ke tempat nongkrong.

Sebelumnya ada isu kalau teh Lia sangat sibuk karena jadi pengawas. Satu jabatan menor yang sangat menyita waktu dan bikin silau man. Pak Ade juga pengawas, meski beliau tidak dandan sampai menor. Punten ya pak. Meski setelah diklarifikasi, ternyata teh Lia masih setia sebagai guru. Memang belakangan agak sibuk selain juga karena ada pembatasan pandemi.

Jam 11.30 Quina kasih kabar sudah sampai. Aku masih masih menjadi navigator melalui jalan berliku-liku mirip rally di perkebunan Deli Serdang yg terkenal itu. Sepanjang jalan yg diarahkan gugelmep, ternyata syahdu, sampai tak terasa kelewatan rumah tujuan. Sebenarnya ada acara nyasar, tapi cuma sedikit sih. Singkat cerita sampailah kami di rumah Teh Lia. Harum ayam digoreng menghambur langsung menyambut kedatangan kami. Bisa saja teh Lia memanjakan perut yg baru menyelesaikan satu babak kuiz 'Berpacu Dalam Melodi'.

Seperti lazimnya kaum hawa, pertemuan selalu dimulai dengan cipika-cipiki. Sebuah prosesi yg  meletakkan kaum Adam di pojok ruangan. Perasaan ditinggalkan. Saya baru tahu kalau proses yg biasanya mengesampingkan kaum Adam ini ternyata hal lumrah dan sangat dianjurkan pak Erwe. Salah satu suami bawaan para mantan.

'Rekomended banget kalau kitapun terlibat," ujarnya pasti. Sayangnya saran ini datang belakangan. Karena saat itu, pak Erwe dan bu Jum sedang terjebak macet di depan stasiun Bojonggede.

Kami berempat duduk lesehan di ruang tamu. Piring-piring berisi kue jajanan pasar lengkap tersaji di atas tikar. Sebuah lemari kaca berisi perabot menjadi latar. Ada kertas nempel di kaca bertuliskan nama tanggal lahir dan tanggal wafat. Pak Ghozali, suami teh Lia. Beliau awalnya didiagnosis terkena serangan jantung. Rumah Sakit selain memberikan perawatan jantung juga melakukan tes Covid. Hasilnya positif. Karantina. Meskipun ada banyak urusan RS terkait suami, teh Lia juga harus isolasi mandiri.

Si Dede yg baru masuk SMA akhirnya menjadi perwakilan keluarga. Proses yg meski pahit ternyata mempu men'drive' dia melewati prosesi pentasbihan untuk menjadi dewasa. Si Dede juga yg mengurus proses administrasi RS sampai penguburan ayahnya. Semua tanpa kehadiran ibunda yg sedang diisolasi.

Cuaca cukup panas. Ada beberapa daun gugur di halaman, seperti air mata yg turun saat itu. Tidak ada cat air yg memadai untuk melukis kesedihan teh Lia. Hanya doa dan Al Fatihah untuk almarhum.

Telpon berdering mengejutkan burung di teras. Bu Jum dan pak Erwe sampai. Kami berempat yg lama tak bersua sepakat, ada yg berubah dari Bu Jum. Lebih ceria. Lebih woww gitu deh. Mungkin sudah ketemu jamu yg pas dan mantab. Bukan jamu 'orang pintar minum tolak anginnya' Rhenald Kasali ya. Kedatangan mereka berdua mengganti suasana hati.

Momentum paradok seperti ini berlangsung sepanjang pertemuan. Sedih, senang, gemas, gembira, terharu, menangis, tertawa, penasaran dan banyak warna emosi yg sangat sulit untuk diikat dengan kata. Ketika kami meledakkan tawa pada saat yg sama juga teringat kesedihan yg dalam. Saat kami terharu biru dengan memori saat bersama di bangku kuliah, kami juga terhanyut dalam haru. Tetapi kata Queen, band legendaris dari Inggris... the show must go on. Kerna hidup mesti tetap berlanjut.

Kamipun makan siang. Ada pecak ikan mas, lalapan, ikan jambal, ayam kampung yg langsung diimport dari Sukabumi, kerupuk Parung, sambel trasi juga nasi merah. Konon penemu padi jenis ini adalah peri yg cuantik sekali. Ilustrasinya mungkin seperti Park Min Young di Whats wrong with secretary Kim. Jadi selama makan nasi merah, aku senantiasa mencari jejak spiritual si cantik Park yg tertinggal. Sayang jejaknya memudar.

Jejak mistis di depan mata malahan jejaknya pak Erwe saat membuat Bu Jum jatuh hati dan akhirnya memutuskan untuk sekali lagi membasahi hatinya. Ada banyak tips dari pak Erwe yg membuat kami tertawa terbahak-bahak sambil mengakui kebenarannya. Ada juga tips yg sulit untuk dituliskan kembali karena lebih asik kalau mendengar langsung. Sayang mbak Tri tidak datang. Padahal saya yakin bisa makin seru dan saru.

Akhirnya ini beberapa simpulan yg bisa dibuat dari acara kemarin. Bahwa mengabaikan, melupakan atau menjadikan masa lalu sebagai kenangan adalah pilihan. Menyadari apa yang dimiliki saat ini akan sangat membantu bahkan memudahkan kita  melepaskan pilihan-pilihan yang membelenggu dan memadamkan kebahagiaan.

Terkadang ada satu pintu kebahagiaan tertutup bersamaan dengan puluhan pintu yg terbuka. Kumpulkan keberanian dan masuki pintu-pintu itu untuk memanen kebahagiaan.

Memang tidak akan menjamin di masa depan tidak akan tersakiti, tetapi satu hal yang pasti keberanian meninggalkan pintu yang sudah tertutup takkan sebanding dengan penyesalan jika tetap memilih diam dan berada di sampingnya menunggu terbuka lagi.

tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
(dari sajak Sapardi Djoko Damono)

Seba
Bojong Gede
Foto: Koleksi pribadi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Saya Pikir Beda

We're leaving together